oleh :
Nur Hidayah
Taufik
BAB I
PENDAHULUAN
Aliran Mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa
kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Daulah ‘Abbasiyah, pada masa itu aliran
ini mengkampanyekan pemikiran bahwa ‘Al-Qur’an adalah makhluk’. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut,
namun ada banyak ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, di antaranya Imam
Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan
masuk penjara. Pemikiran-pemikiran Imam
Ahmad Ibn
Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran salafiyah.
Aliran salafiyah merupakan aliran yang muncul sebagai
kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya
diformulasikan secara lebih lengkap oleh Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran
Asy’ariyah, aliran Salafiyah memberikan reaksi yang keras terhadap
pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang terlalu memberikan ruang gerak yang bebas
kepada akal. Kaum salafiyah berusaha memahami Islam sesuai dengan petunjuk
Al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka tidak memberikan ruang gerak yang bebas
terhadap akal dan mereka secara tegas menolak tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat
secara mendalam dan percaya sepenuhnya pada sifat-sifat Allah.
Dalam makalah ini penulis akan membatasi permasalahan
yang akan dibahas seputar:
1. Definisi Salafiyah
2. Manhaj dan Butir-butir Teologi Salafiyah
3. Tokoh Salafiyah dan Pemikirannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Salafiyah
Secara bahasa Salaf artinya
terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in,
tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H. dan para pengikutnya pada abad ke-4
yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula
ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[1] Secara lebih tegas, Abdul Aziz Dahlan
menyatakan bahwa generasi salaf adalah generasi yang terdiri dari generasi
sahabat dan tabi’in.[2]
Sedangkan
menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar
mengenai arti Salaf. Menurut al-Syahrastani, Salaf adalah yang tidak
menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak
mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). Sementara Mahmud al-Bisybisyi
menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat
diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat
Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan
mengagungkan-Nya.[3]
Dari definisi
di atas, dapat diketahui bahwa Salafiyah adalah orang-orang yang
mengikuti manhaj sahabat, tabi’in dan tabi’i tabi’in dalam seluruh sisi
ajaran dan pemahaman mereka. Pencakupan generasi Salaf sampai tabi’ tabi’in tak
lepas dari ketersambungan manhaj mereka dengam manhaj para tabi’in.
B. Manhaj dan Butir-butir Teologi Salafiyah
Paham Salafiyah
mulai dikenal dan muncul beberapa abad setelah Rasulullah SAW wafat, tepatnya
pada paruh pertama abad ke 3 H. Paham Salafiyah muncul sebagai rekasi keras
terhadap pentakwilan yang dilakukan kaum Mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat
(anthropomorphis), dengan alasan para salaf tidak pernah melakukan
takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat.[4]
Penganut paham Salafiyah
disebut juga dengan kaum tradisionalis. Julukan ini terkait dengan masalah
sumber rujukan dalam berteologi. Bila ada masalah teologi, kaum Salafiyah
mencari jawabannya pada Al-Qur’an. Bila tidak ada dijumpai dalam Al-Qur’an,
mereka mencari jawabannya pada hadits mutawatir. Bila juga tidak dijumpai
jawaban dari hadits mutawatir, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada hadits
masyhur. Bila tidak dijumpai juga, kaum Salafiyah akan mencari jawabannya pada
hadits ahad.[5]
Secara lebih
spesifik, kaum Salafiyah mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada
dirayah (aqli)
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama dan
persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih
lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme
(menyerupakan Allah dengan makhluk).
4. Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan
makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
Apabila melihat karakteristik di atas, maka
tokoh-tokoh yang dapat dikatagorikan sebagai Salafiyah adalah: Abdullah bin
Abbas (w. 68 H), Abdullah bin Umar (w. 74 H), Umar bin Abdul Al-Aziz (w. 101
H), Hasan al-Bashri (w. 105 H), az-Zuhri (w. 124 H), Ja’farAhs-Shadiq (w. 148
H), dan para imam mazhab yang empat, yakni: Abu Hanifah (w. 150 H), Malik bin
Anas (w. 179 H), Syafi’i (w. 204 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241). Para tokoh
inilah yang dianggap sebagai Salafiyin awal, terkait karakteristik pandangan di
atas.
Namun, secara kronologis Salafiyah sebagai
sebuah aliran pemikiran, bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Pada abad ke 4
Hijriyah, muncullah golongan yang gigih menamakan diri mereka sebagai Salafiyah
atau Salafiyin. Mereka adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang
beliau sebagai tokoh yang sangat teguh bertahan pada pendirian Salaf, kendati
mengalami penyiksaan dari kaum Mu’tazilah. Dengan demikian, Hanbalilah yang
menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah. Lalu ajarannya
dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin
Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.[6]
Di antara
pemikiran-pemikiran yang mendasar terkait teologi yang dimiliki Salafiyah
adalah sebagai berikut:[7]
1. Para pelaku dosa besar berada dalam kehendak
dan kekuasaan Allah SWT. Mukmin yang menjadi pelaku dosa besar tidak boleh
disebut mukmin saja, tapi harus mukmin ‘ashi (bermaksiat) atau mukmin yang
fasik. Nasibnya kelak di akhirat adalah bila Allah SWT memberikan pengampunan
kepadanya, maka ia langsung masuk surga. Tetapi bila tidak diampuni, ia masuk
neraka, tapi tidak kekal di dalamnya.
2. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT,
dengan pengertian Allah SWT menciptakan kemampuannya tetapi Dia tidak
mengendalikan manusia. Manusia tetap dipandang memiliki kebebasan kehendak
untuk berbuat baik atau berbuat buruk.
3. Allah SWT tidak mungkin membebani manusia
dengan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dipikul manusia.
4. Semua perbuatan Allah SWT pasti memiliki
hikmah dan tujuan. Sebagian hikmah dan tujuan itu disingkapkan kepada manusia
sehingga diketahui oleh manusia dan sebagian lagi tidak disingkapkan kepada
manusia yang karenanya tidak dapat difahami oleh manusia.
5. Allah SWT tidak mungkin melanggar janji dan
ancaman-Nya.
6. Manusia dengan mata kepala dapat menyaksikan Allah
SWT di surga kelak.
7. Ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh ditakwilkan.
Ayat-ayat mutasyabihat cukup difahami sebagaimana adanya, dengan tidak
membandingkan atau menyamakan dengan makhluk. Sebagai misal, ungkapan yadullahi
(tangan Allah) cukup difahami sebagai tangan Allah. Tetapi tangan
itu sendiri tidak mungkin sama dengan tangan manusia.
8. Al-Qur’an adalah kalamullah, dan kalamullah
itu adalah kesatuan lafadz dan makna. Al-Qur’an bukanlah makhluk-Nya.
9. Orang-orang yang tidak didatangi oleh ajaran
wahyu Allah, tidak dipandang sebagai mukallaf, dan karenanya mereka tidak
akan diazab di hari kiamat. Demikian halnya dengan anak-anak orang kafir yang
meninggal sebelum dewasa.
10. Nabi Muhammad SAW dapat memberikan syafaat bagi
orang-orang mukmin yang berdosa di akhirat kelak, dengan izin Allah SWT.
11. Sebagian dari peristiwa buruk alam (seperti:
banjir, tsunami, gunung meletus, dsb.) bersifat relatif dalam arti peristiwa
tersebut bisa jadi menjadi musibah bagi sekelompok manusia, namun mendatangkan
manfaat bagi sebagian yang lain. Keburukan yang bernilai relatif ini diciptakan
Allah SWT untuk hikmah tertentu yakni sebagai ujian atau cobaan untuk
meninggikan derajat manusia.
12. Sifat, nama, atau sebutan bagi Allah SWT
haruslah ditetapkan atau disematkan bagi diri-Nya, sebagaimana Dia sendiri
telah menetapkannya. Sifat, nama, atau sebutan bagi Allah SWT tidak boleh
difahami sama seperti sifat, nama atau sebutan bagi makhluk-Nya, dan tidak
boleh juga meniadakannya sama sekali dari diri Allah SWT.
C.
Tokoh Salafiyah dan Pemikirannya
1.
Imam Ahmad Ibn Hambal
Beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164
H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah
karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama
Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin
Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad
bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah
bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin
Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam
keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.[8]
Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah Al-Quran
sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi
belajar ilmu hadits
pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu Al-Quran
dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama
terkenal di Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.[9]
Di
antara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin
Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin
Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin
Humam dan Musa bin Tariq. Dari
guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan
bahasa Arab.[10]
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian,
wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah al-Makmun
mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban mihnah
(inquisition),[11] karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya,
pada masa pemerintahan al-Makmun, al-Mu’tasim
dan al-Watsiq, ia
harus mendekam dipenjara. Namun setelah al-Mutawakkil
naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.
Tentang ayat-ayat mutasyabihat, Ibn Hanbal
lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan
ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan
sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat)
dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang
penafsiran surat Thâhâ/20 : 5, yang berbunyi:
الرحمن
على العرش استوى
Yaitu yang Maha Pengasih yang Bersemayam di atas Arsy.
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:
إستوى
على العرش كيف شآء وكما شآء بلا حد ولاصفة يبلغها واصف
Istiwa’ di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia
kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.[12]
Dan dalam menanggapi hadits nuzul (Allah
SWT turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Allah
SWT di akhirat), dan hadits-hadits lainnya yang serupa, Ibn Hanbal berkata: “Kita
mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.[13]
Dari
pernyataan-pernyataan di atas tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh)
makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya,
serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak
menakwilkan pengertian lahirnya.
Berikutnya, salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang
kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an,
apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya huduts (baru) ataukah tidak
diciptakan yang karenanya qadim. Persoalan teologis ini erat kaitannya
dengan faham Mu’tazilah. Sejarah menjelaskan bahwa faham yang diakui oleh
pemerintah saat itu -yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah al-Makmun,
al-Mu’tasim, dan al-Watsiq- adalah faham Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah
berpandangan bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Mereka menilai, faham
adanya qadim disamping Allah, berarti
menduakan Allah, sedangkan menduakan Allah
adalah syirik
dan dosa besar yang tidak diampuni-Nya.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh
karena itu, ia kemudian diuji dalam sidang mihnah oleh aparat pemerintah.
Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq
bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq
bertanya : Bagaimana
pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad
bin Hambal : Ia adalah kalam Allah.
Ishaq
: Apakah ia makhluk?
Ibn
Hambal
: Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq
: Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ibn
Hambal
: Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq
: Apakah maksudnya?
Ibn Hambal : Aku tidak tahu, Dia
seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri- Nya.[14]
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak
mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa
Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
Rasul-Nya.[15]
Berikutnya,
bagi Imam Ahmad bin Hanbal iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat
berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan
berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[16]
2.
Ibn Taimiyah
Nama
lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim
bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim al Khadar bin Muhammad bin al-Khadar
bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang
bernama Muhammad bin al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang
anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu,
keturunannya dinamai Ibn Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya
itu.[17]
Ibn
Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun
661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun
729 H. Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf yang kental karena kurang memberikan
ruang gerak pada akal. Ia
adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang
bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (ahli
tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan
yang luas tentang filsafat.[18]
Ibn Taimiyah
terkenal sangat cerdas, sehingga pada
usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan
pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Banyak tokoh dan ulama yang merasa risau
oleh serangan-serangannya serta tidak senang
terhadap kedudukannya di istana gubernur Damaskus,
menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah
sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya,
bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, anthropomorphisme, sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah
dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
Di antara pemikiran-pemikiran
Ibn Taimiyah adalah sebagai berikut:
a.
Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b.
Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c.
Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.
Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in)
1.
Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan
oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a.
Sifat Salabiyah, yaitu: qidam, baqa’, mukhalafatu li
hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyat.
b.
Sifat Ma’ani, yaitu: qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar
dan kalam.
c.
Sifat khabariyah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan al-hadits
walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang
menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di ‘Arasy; Allah turun ke langit
dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan
mata Allah.
d.
Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan)
kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan
lain-lain.
2. Percaya
sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti al-Awwal, al-Akhir, dan lain-lain.
3.
Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a. Tidak mengubah
maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki oleh lafadz tersebut (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b. Tidak
menghilangkan pengertian lafadz (min
ghoiri ta’thil)
c. Tidak mengingkarinya
(min ghoiri ilhad)
d. Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik
dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
e. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan)
sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal
‘alamin).[21]
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas,
Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menurutnya, ayat
atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Dalam
masalah perbuatan manusia, Ibn Taimiyah
mengakui tiga hal:
a. Allah pencipta
segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b. Manusia adalah
pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara
sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridhai
perbuatan buruk.
Dalam
masalah sosiologi politik Ibn Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia
dengan tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah tuhan tidak dapat diperoleh
dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan tuhan
adalah suatu hal yang mustahil.[22]
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1.
Salafiyah adalah mereka yang mengikuti manhaj generasi
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman
mereka.
2.
Paham Salafiyah muncul sebagai rekasi keras terhadap
pentakwilan yang dilakukan kaum Mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat
(anthropomorphis).
3.
Secara kronologis Salafiyah sebagai sebuah aliran
pemikiran, bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Pada abad ke 4 Hijriyah,
muncullah golongan (pengikut Ibn Hanbal) yang gigih menamakan diri mereka
sebagai Salafiyah atau Salafiyin. Dengan demikian, Hanbalilah yang meletakkan
batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah. Lalu ajarannya dikembangkan oleh
Imam Ibn Taimiyah.
4.
Di antara pandangan yang menonjol dari Salafiyah adalah
ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh ditakwilkan. Ayat-ayat mutasyabihat
cukup difahami sebagaimana adanya, dengan tidak membandingkan atau
menyamakan dengan makhluk.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajudin, I’tiqad
Ahlusunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,
1987.
Dahlan, Abdul Aziz, Teologi
Filsafat Tasawuf dalam Islam, Jakarta: Ushul Press,
2012.
Dasuki, Hafiz, Ensiklopedi Islam, Jilid. V, Cet.
1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
1993.
Fauzi, Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press.
Nasir, Sahilun
A., Pemikiran Kalam (Teology Islam),
Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Razak, Abdur
dan Anwar, Rosihan , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Sa’ad, Thablawy
Mahmud, al-Tashawwuf fi Turasts
Ibn Taimiyah, Mesir: alhay
al-Hadits al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1984.
Yusuf, Abdullah, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung:
Sinar
Baru, 1993.
[1] Thablawy Mahmud Sa’ad, al-Tashawwuf fi
Turasts Ibn Taimiyah, (Mesir: alhay al-Hadits al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1984),
h. 11-38.
[5] Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf
dalam Islam, ..., h. 8-9. Lebih lanjut Abdul Aziz Dahlan menjelaskan bahwa
apa yang dilakukan kaum Salafiyah ini berbeda dengan kaum Mu’tazilah. Ketika
persoalan-persoalan teologi hanya ditemukan jawabannya pada hadits masyhur atau
hadits ahad saja, kaum Mu’tazilah akan menjawab persoalan tersebut dengan rasio
(akal). Karenanya, kaum mu’tazilah disebut juga dengan kaum rasionalis.
[6] Abdur
Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 109. Juga: Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, ...,
90.
[10] Hafiz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid. V, Cet.
1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 82
[11] Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan
sebagai upaya ‘pemaksaan’ mengikuti faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi
negara di bawah sokongan pemerintahan al-Ma’mun. Mihnah diadakan untuk
menguji keyakinan para ulama khususnya ulama hadits mengenai hakikat Al-Qur’an,
apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Para ulama yang tidak sependapat dan
tidak mau mengikuti faham ini, disiksa dan dipejara. Hal inilah yang akhirnya
memicu ketidaksukaan dan menimbulkan pertentangan para ulama terhadap kaum
Mu’tazilah. Pen.
[14] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teology Islam ), (Jakarta: Rajawali Pers. 2010),
h. 126-127.
[20] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat,
(Bandung: Sinar Baru, 1993), h. 58-60