Rabu, 06 November 2013

Aliran Asyariyah

ASY’ARIYAH
( ALIRAN TEOLOGI  ISLAM )

Makalah Ini Dibuat Sebagai Tugas Kelompok Dalam Mata Kuliah

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM









DOSEN PEMBIMBING  :
PROF. DR. H. ABD. AZIZ DAHLAN, MA




DISUSUN OLEH :
                                       Pringgondani          ( NPM  :  13042021372 )
                                       Robani                                 ( NPM   :  13042021375 )



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT PTIQ JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2013 / 2014
BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran, yakni pemikiran yang bercorak rasional serta pemikiran yang bercorak tradisional. Pemikiran yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai  arti dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah
Sebaliknya, pemikiran yang bercorak tradisional adalah pemikiran yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Pemikiran ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik  dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah. Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu.
Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain  Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.







B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan makalah ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan,  yaitu :
1.    Bagaimana Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.    Abu Hasan al-Asy’ari (Biografi dan Karya-karyanya) dan tokoh lain.
3.    Apa saja Pokok-pokok ajaran Asy’ariyah

      C. Tujuan Pembahasan
                  Adapun tujuan dari penulis ini adalah :
                  1.   Memahami sejarah lahirnya aliran Al-Asy’ariah
                  2.   Mengetahui biografi dan karya-karya pendiri aliran Al-Asy’ariyah yakni Abu  
                        Hasan al-Asy’ari dan tokoh-tokoh lain.
                  3.   Mengetahui dan memahami pokok-pokok ajaran Al-Asy’ariyah.















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Timbulnya Aliran Asy’ariah.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :
 Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.[1]
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya   al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”.  Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mulai saat itu tidak lagi menganut paham Mu’tazilah, tapi menyusun keyakinan yang baru.

B. Abu al-Hasan al-Asy’ari (Biografi dan Karya-Karyanya).
Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers disebutkan bahwa “Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at Basra in the year 260 H / 873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b. Ishak b. Salim b. Ismail b. Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda.[2][21] Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah “Ali bin Ismail bin Basyr Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Abi Bardah bin Abdullah bin Abi Musa al-Asy’ari.[3][22]
Adapun masa hidupnya, al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H  (873 M) dan wafat pada tahun 524 H (935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.[4][23]
Kehidupan al-Asy’ari kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail. Dan ibunya kemudian dipersunting oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan dibesarkan.[5][24]
Seorang ahli hukum Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri aliran Asy’ariyah. Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi s.a.w, yaitu Abu Musa al-Asy’ari r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau.[6][25] Pada bidang teologi beliau banyak berguru pada Ali al-Jubbai; demikian juga beliau belajar fiqhi Syafi’i kepada seorang faqih yaitu Abu Ishak al-Maruzi seorang tokoh Muktazilah di Basrah.[7][26]
Adapun karya-karyanya, di antaranya beberapa judul yang  sampai kepada kita ialah :
1.    Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok keagamaan yang didasarkan pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan bagi kaum Sunni).
2.    Al-Luma’ (Kitab ini lebih menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam yang dianggapnya tidak benar, dan memberikan dalil-dalil naql (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta argumen akal yang relevan.
3.     Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. (Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang bermacam-macam golongan Islam beserta pendapat masing-masing dan lebih merupakan kajian comparative (perbandingan). Sehingga terlihat jelas mana kelompok Alussunnah Waljamaah berada).[8][27]

      Diantara Tokoh-tokoh terpenting lainnya yang mendukung dan meyebarkan ajaran Asy’ariyah adalah : 

     
1.      Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu al-Asy’ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Bukunya yang terkenal ialah “At-Tahmid”, yang berarti “Pengantar” atau “Pendahuluan”. Dalam buku ini ia antara lain membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki Theologi Islam, diantaranya tentang Jauhar-Fard (atom), ‘aradh dan cara-cara pembuktian (istidlal).[9][28]
Dalam beberapa hal Al-Baqillani tidak sefaham dengan Asy’ari , diantaranya tentang sifat Tuhan. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-Baqillani bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat yang sebaliknya. Adapun tentang tentang perbuatan manusia, menurutnya; Manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Denngan lain kata, gerak dalam diri manusia mengmbil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya.[10][29]
       2.      Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi Usul Fiqih dan theology Islam, ia mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadits kepadanya. Akhirnya ia terpaksa meninggalkan Bagdad, menuju Hejaz dan bertempat tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar “Imamul Haramain”.
Dalam bukunya, “al-irsyad”, yang berisi pokok-pokok kepercayaan ia menandaskan bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah mengadakan penyelidikan akal pikiran yang bisa membawa kepada keyakinan bahwa alam semesta ini baru, dan kalau baru tentu ada yang menjadikannya, itulah Tuhan.[11][30]
Pendapat Al-Juwaini tentang anthropomorphisme adalah; Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud tuhan. Dan keadaan Tuhan duduk di atas takhta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Maha Tinggi. Sedangkan tentang perbuatan manusia, menurutnya daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek  Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.[12][31]
      3.      Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Gazali, lahir 450 H, di Tus kota kecil di Churrasan (Iran). Perkataan “al-Ghazali” kadang-kadang diucapkan “al-Ghazzali” (dua kali z). “Al-Ghazzali”, dengan menduakalikan z diambil dari perkataan “Ghazzala”, artinya tukang pemintal benang wool, sedang “al-Ghazali”, dengan satu z, diambil dari perkataan “Ghazalah”, nama kampong kelahiran al-Ghazali. Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafat ia telah menitipkan kedua anak tersebut kepada seorang tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Tus, kemudian meneruskan ke Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 505 H/ 1111 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar, dan di sini ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar daripadanya, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/ 1090 M ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizamiah Bagdad. Selama waktu itu ia tertimpa kerahu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriah (physiotherapy). Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkan pada tahun 488 H untuk menuju Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan mengambil Tasawuf sebagai jalan hidupnya.[13][32]
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya, meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain; Theologi Islam, hukum Islam, tasawuf, tafsir, akhlak, dan adab kesopanan, sebagian besar dari buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persi. Diantara kitabnya yang terbesar adalah “Ihya Ulumuddin” yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan yang dikarangnya beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Jerussalem, Hejaz, dan Tus dan berisi paduan yang indah antara fiqih, tasawuf, dan filsafat. Buku yang lain yaitu, “al-Munqidz minaddhalal” (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan.[14][33]
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga kita sukar untuk mencapai kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, adapun contoh pemikirannya adalah sebagai berikut;
  1. Sikapnya terhadap filosof-filosof
Menurut Hanafi, dalam bukunya “Tahafutul-Falasifah” dan “al-Munqidz mina Dhalal” al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam, bahkan mengafirkan mereka dalam  tiga soal, yaitu; Alam kekal dalam arti tidak bermula, Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam, pembangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi dalam kitabnya yang lain, yaitu “Mizanul-‘ama” dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Masih kutipan Hanafi dalam bukunya “al-Madhnun ala ghairi ahlihi”ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam “al-Munqiz minad Dhalal” ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf.
Al-Ghazali menentang tiga persoalan dalam beberapa bukunya dan mempercayainya juga dalam buku-bukunya yang lain. Menurut Dr. Zaki Mubarak dalam bukunya “al-akhlak ‘indal Ghazali” yang dikutip oleh Hanafi mengatakan; perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang, namanya meningkat, menjadi guru yang benar-benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat, menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.[15][34]
  1. Beberapa pemikirannya tentang faham Theologi
Berlainan dengan gurunya al-Juwaini, faham teologi yang dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan faham-faham al-Asy’ari. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat. Juga al-Quran dalam pendapatnya bersifat qasim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.[16][35]
Selanjutnya menurut al-Ghazali Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Demikian pula penolakan terhadap faham keadilan yang ditimbulkan oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa muthlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat  ke Tuhanannya.[17][36]

C. Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
            Formulasi pemikiran Asy’ariah secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran atau pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang terpenting adalah berikut ini :

a.  Tuhan dan sifat-sifat Nya.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak ada  selain esensi Nya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
     b.  Kebebasan dalam berkehendak
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya ? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asyari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
     c.   Akal dan wahyu dalam Penentuan baik dan  buruk
Walapun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah megutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
      d.  Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an, jika mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim sedangkan pandangan madzab hambali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
      e.  Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
     f.  Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
      g.  Kedudukan orang berdosa.
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

C. Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
            Formulasi pemikiran Asy’ariah secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran atau pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang terpenting adalah berikut ini :

a.  Tuhan dan sifat-sifat Nya.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak ada  selain esensi Nya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
     b.  Kebebasan dalam berkehendak
Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya ? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asyari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
     c.   Akal dan wahyu dalam Penentuan baik dan  buruk
Walapun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah megutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
      d.  Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an, jika mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim sedangkan pandangan madzab hambali dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
      e.  Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
     f.  Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian jelaslah bahwa mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
      g.  Kedudukan orang berdosa.
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

























BAB III
KESIMPULAN


             Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman dan aliran teologi Islam Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar atau kesimpulannya adalah sebagai berikut  :
a.       Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang saat itu.
b.       Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
c.       Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
d.      Selanjutnya, pemikiran Asy’ari dilanjutkan dan disebarkan oleh para muridnya. Hanya saja, pemikirannya tersebut tidak diambil seratus persen, tetapi ada yang dibenahi dan dikoreksi.
e.       Adapun pergolakan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah di antaranya terjadi dalam beberapa permasalahan, seperti Al-Qur’an, sifat Allah,  status pelaku dosa besar dan masalah keyakinan yang lain-lainnya. Semoga pergolakan tersebut dapat semakin mendewasakan umat Islam dalam berpikir dan sekaligus mendorong mereka untuk selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan keteladan Rosululloh SAW dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah  hasil buah pemikiran kelompok kami, tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi kita bersama, amin ya rabbal ‘alamin.
Waullahu a’lam bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abdul Azis , TEOLOGI FILSAFAT TASAWUF dalam  ISLAM, Ushul Press, Jakarta, 2012
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu as-Sunnah wal Jamaah”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 48.
Noer Iskandar al-Barsany, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah (Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3.
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III; Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 14.
Ahmad Amin, Zuhr Islam, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 65.
M.Hanafi, Theologi Islam…, halm.111.








 1 .Abdul Azis Dahlan, TEOLOGI FILSAFAT TASAWUF dalam  ISLAM, Ushul Press, Jakarta, 2012


[2][21] H.A.R. Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaudia of Islam, (London: Luzac and Co, 1961), h. 66.
[3][22] Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu as-Sunnah wal Jamaah”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 48.
[4][23] Noer Iskandar al-Barsany, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah (Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3.
[5][24] Ibid, h. 3
[6][25] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III; Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 14.
[7][26] Ahmad Amin, Zuhr Islam, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 65.
[8][27] Noer Iskandar al-Barsany, Op Cit, h.10.
[9][28] M.Hanafi, Theologi Islam…, halm.111
[10][29]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran…, halm.71..
[11][30] M.Hanafi, Theologi Islam…, halm.112.
[12][31] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran…, halm. 72.
[13][32] M.Hanafi, Theologi Islam…, halm. 114.
[14][33] Ibid., halm. 115.
[15][34] Ibid., 117.
[16][35] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran…, halm.73. Dalam kamus Jhon. M.Echols (Jakarta: Gramedia, 2006),  arti Impotence adalah ketidak mampuan.
[17][36] Ibid., halm. 73.

0 komentar: