ASY’ARIYAH
( ALIRAN
TEOLOGI ISLAM )
Makalah
Ini Dibuat Sebagai Tugas Kelompok Dalam Mata Kuliah
SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING :
PROF. DR. H. ABD. AZIZ DAHLAN, MA
DISUSUN OLEH :
Pringgondani
( NPM :
13042021372 )
Robani ( NPM : 13042021375 )
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT PTIQ JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2013 / 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah
perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran, yakni
pemikiran yang bercorak rasional serta pemikiran yang bercorak tradisional.
Pemikiran yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan
kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna
harfiah, dan banyak memakai arti dalam memberikan interpretasi ayat-ayat
Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam
serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini
terdapat dalam aliran Mu’tazilah
Sebaliknya, pemikiran yang
bercorak tradisional adalah pemikiran yang tidak memberikan kebebasan
berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan
kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna
harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Pemikiran ini akan
melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan
sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam
aliran Asy’ariyyah. Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal
manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu.
Sikap yang dipakai kaum
Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada
teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya,
terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional
untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau
interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada
arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain Mu’tazilah
membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan makalah ini,
penulis merumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana
Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.
Abu Hasan al-Asy’ari (Biografi dan Karya-karyanya) dan tokoh lain.
3. Apa
saja Pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari
penulis ini adalah :
1.
Memahami sejarah lahirnya aliran Al-Asy’ariah
2. Mengetahui biografi dan karya-karya pendiri
aliran Al-Asy’ariyah yakni Abu
Hasan
al-Asy’ari dan tokoh-tokoh lain.
3. Mengetahui
dan memahami pokok-pokok ajaran Al-Asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’ariah.
Ada beberapa
kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah
sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini
dipaparkan :
Al-Asy’ari
sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan
ajaran Mu’tazilah. Pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan
mazhab Mu’tazilah salah.[1]
Cerita yang paling umum
disebut sebagai penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah
kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat
untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat
bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh
sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana
kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya
Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh
orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa
jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka
demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang
dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang
kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui
masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak
menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.
Menurut suatu riwayat,
ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang banyak di
rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian pergi ke masjid besar Basrah untuk
menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mulai saat itu tidak lagi menganut
paham Mu’tazilah, tapi menyusun keyakinan yang baru.
B. Abu al-Hasan
al-Asy’ari (Biografi dan Karya-Karyanya).
Dalam Shorter
Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers disebutkan bahwa
“Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at Basra in the year 260 H /
873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b. Ishak b. Salim b. Ismail b.
Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda.[2][21] Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah “Ali bin Ismail bin Basyr
Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Abi Bardah bin
Abdullah bin Abi Musa al-Asy’ari.[3][22]
Adapun masa hidupnya,
al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H (873 M) dan wafat pada tahun 524 H
(935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah
atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.[4][23]
Kehidupan al-Asy’ari
kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia
telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail. Dan ibunya kemudian
dipersunting oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah.
Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan dibesarkan.[5][24]
Seorang ahli hukum
Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri aliran Asy’ariyah. Ia
mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi s.a.w, yaitu Abu Musa al-Asy’ari
r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau.[6][25] Pada bidang teologi beliau banyak berguru pada Ali al-Jubbai; demikian
juga beliau belajar fiqhi Syafi’i kepada seorang faqih yaitu Abu Ishak
al-Maruzi seorang tokoh Muktazilah di Basrah.[7][26]
Adapun karya-karyanya,
di antaranya beberapa judul yang sampai kepada kita ialah :
1. Al-Ibanah
‘an Ushul al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok
keagamaan yang didasarkan pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan
bagi kaum Sunni).
2. Al-Luma’
(Kitab ini lebih menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam yang
dianggapnya tidak benar, dan memberikan dalil-dalil naql (al-Qur’an dan
al-Sunnah) serta argumen akal yang relevan.
3. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin.
(Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang bermacam-macam golongan Islam
beserta pendapat masing-masing dan lebih merupakan kajian comparative
(perbandingan). Sehingga terlihat jelas mana kelompok Alussunnah Waljamaah
berada).[8][27]
Diantara Tokoh-tokoh terpenting lainnya
yang mendukung dan meyebarkan ajaran Asy’ariyah adalah :
1. Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar
Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya,
yaitu al-Asy’ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam
pembelaan agama. Bukunya yang terkenal ialah “At-Tahmid”, yang berarti
“Pengantar” atau “Pendahuluan”. Dalam buku ini ia antara lain membicarakan
hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki Theologi Islam, diantaranya
tentang Jauhar-Fard (atom), ‘aradh dan cara-cara pembuktian (istidlal).[9][28]
Dalam beberapa hal
Al-Baqillani tidak sefaham dengan Asy’ari , diantaranya tentang sifat Tuhan.
Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-Baqillani bukanlah sifat,
tetapi hal, sesuai dengan pendapat yang sebaliknya. Adapun tentang
tentang perbuatan manusia, menurutnya; Manusia mempunyai sumbangan yang efektif
dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat
dalam diri manusia adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh
manusia sendiri. Denngan lain kata, gerak dalam diri manusia mengmbil berbagai
bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya.[10][29]
2. Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di
Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya
tinggal di kota Bagdad. Kegiatan ilmiahnya meliputi Usul Fiqih dan theology
Islam, ia mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam menjunjung tinggi
kekuasaan akal pikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadits
kepadanya. Akhirnya ia terpaksa meninggalkan Bagdad, menuju Hejaz dan bertempat
tinggal di Mekkah kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana.
Karena itu ia mendapat gelar “Imamul Haramain”.
Dalam bukunya, “al-irsyad”, yang berisi pokok-pokok
kepercayaan ia menandaskan bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah
mengadakan penyelidikan akal pikiran yang bisa membawa kepada keyakinan bahwa
alam semesta ini baru, dan kalau baru tentu ada yang menjadikannya, itulah
Tuhan.[11][30]
Pendapat Al-Juwaini tentang anthropomorphisme
adalah; Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan
diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud tuhan. Dan keadaan
Tuhan duduk di atas takhta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Maha Tinggi.
Sedangkan tentang perbuatan manusia, menurutnya daya yang ada pada manusia juga
mempunyai efek Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara
sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada manusia, wujud
daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula
pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari
segala sebab yaitu Tuhan.[12][31]
3. Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Gazali, lahir
450 H, di Tus kota kecil di Churrasan (Iran). Perkataan “al-Ghazali”
kadang-kadang diucapkan “al-Ghazzali” (dua kali z). “Al-Ghazzali”, dengan menduakalikan
z diambil dari perkataan “Ghazzala”, artinya tukang pemintal benang wool,
sedang “al-Ghazali”, dengan satu z, diambil dari perkataan “Ghazalah”, nama
kampong kelahiran al-Ghazali. Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang
saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil.
Akan tetapi sebelum wafat ia telah menitipkan kedua anak tersebut kepada
seorang tasawuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam
hidupnya.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota
Tus, kemudian meneruskan ke Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada imam
al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 505 H/ 1111 M. Kemudian
ia berkunjung kepada Nizamul Mulk di kota Mu’askar, dan di sini ia mendapat
penghormatan dan penghargaan yang besar daripadanya, sehingga ia tinggal di
kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/ 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sekolah Nizamiah Bagdad. Selama waktu itu ia tertimpa kerahu-raguan tentang
kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa
diobati dengan obat lahiriah (physiotherapy). Pekerjaannya itu kemudian
ditinggalkan pada tahun 488 H untuk menuju Damsyik, dan di kota ini ia
merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun, dengan mengambil Tasawuf
sebagai jalan hidupnya.[13][32]
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam
ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku
telah ditulisnya, meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain; Theologi Islam,
hukum Islam, tasawuf, tafsir, akhlak, dan adab kesopanan, sebagian besar dari
buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam
bahasa Persi. Diantara kitabnya yang terbesar adalah “Ihya Ulumuddin” yang
artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan yang dikarangnya beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Jerussalem, Hejaz, dan Tus dan
berisi paduan yang indah antara fiqih, tasawuf, dan filsafat. Buku yang lain
yaitu, “al-Munqidz minaddhalal” (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah
perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap
beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan.[14][33]
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami
perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga kita
sukar untuk mencapai kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, adapun contoh
pemikirannya adalah sebagai berikut;
- Sikapnya terhadap
filosof-filosof
Menurut Hanafi, dalam bukunya “Tahafutul-Falasifah”
dan “al-Munqidz mina Dhalal” al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam, bahkan
mengafirkan mereka dalam tiga soal, yaitu; Alam kekal dalam arti tidak
bermula, Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam,
pembangkitan jasmani tidak ada. Akan tetapi dalam kitabnya yang lain, yaitu
“Mizanul-‘ama” dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut menjadi
kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Masih kutipan Hanafi dalam bukunya
“al-Madhnun ala ghairi ahlihi”ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam
“al-Munqiz minad Dhalal” ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah
kepercayaan orang-orang tasawuf.
Al-Ghazali menentang tiga persoalan dalam beberapa
bukunya dan mempercayainya juga dalam buku-bukunya yang lain. Menurut Dr. Zaki
Mubarak dalam bukunya “al-akhlak ‘indal Ghazali” yang dikutip oleh Hanafi
mengatakan; perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran
al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang
cemerlang, namanya meningkat, menjadi guru yang benar-benar kenamaan. Akhirnya
menjadi kritikus yang kuat, menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian
menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan
buku-bukunya.[15][34]
- Beberapa
pemikirannya tentang faham Theologi
Berlainan dengan gurunya al-Juwaini, faham teologi
yang dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan faham-faham al-Asy’ari.
Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar
zat. Juga al-Quran dalam pendapatnya bersifat qasim dan tidak diciptakan.
Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia
lebih dekat menyerupai impotensi.[16][35]
Selanjutnya menurut al-Ghazali Tuhan dapat dilihat
karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Demikian pula penolakan
terhadap faham keadilan yang ditimbulkan oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemashlahatan manusia, tidak wajib memberi upah atau
ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi
beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa muthlak dan tidak
akan bertentangan dengan sifat-sifat ke Tuhanannya.[17][36]
C. Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
Formulasi pemikiran Asy’ariah secara esensial
menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu
sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat
dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran atau
pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang terpenting adalah berikut ini :
a. Tuhan dan sifat-sifat Nya.
Perbedaan pendapat di
kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun
mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan
dengan kelompok Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu
harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan
kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak ada selain esensi Nya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa
diartikan secara harfiah, melainkan
harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok
tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya,
Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b. Kebebasan dalam berkehendak
Dalam hal apakah manusia
memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan
perbuatannya ? Dari dua pendapat yang
ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme
semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat
bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asyari membedakan antara
khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik) perbuatan manusia,
sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang
mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal dan wahyu dalam Penentuan baik dan buruk
Walapun Al-Asy’ari dan
orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari
akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah megutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk
pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat
bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar
pada akal.
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an, jika mu’tazilah mengatakan
bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak
qadim sedangkan pandangan madzab hambali
dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim
dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata,
dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang
saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat.
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat
digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihatnya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari
dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam
memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak
memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian
jelaslah bahwa mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan orang berdosa.
Al-Asy’ari menolak ajaran
posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.
Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufr.
C. Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
Formulasi pemikiran Asy’ariah secara esensial
menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu
sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat
dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran atau
pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang terpenting adalah berikut ini :
a. Tuhan dan sifat-sifat Nya.
Perbedaan pendapat di kalangan
mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka
setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan
dengan kelompok Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu
harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan
kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak ada selain esensi Nya. Adapun tangan, kaik, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa
diartikan secara harfiah, melainkan
harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok
tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya,
Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b. Kebebasan dalam berkehendak
Dalam hal apakah manusia
memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan
perbuatannya ? Dari dua pendapat yang
ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan menganut faham pradeterminisme semata-mata
dan Mu’tazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa
manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-Asyari membedakan antara khaliq
dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khalik) perbuatan manusia,
sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang
mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal dan wahyu dalam Penentuan baik dan buruk
Walapun Al-Asy’ari dan
orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari
akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah megutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk
pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat
bahwa baik dan buruk harus berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar
pada akal.
d. Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an, jika mu’tazilah mengatakan bahwa
Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak
qadim sedangkan pandangan madzab hambali
dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim
dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata,
dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang
saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim.
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat.
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat
digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihatnya.
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari
dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam
memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak
memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian
jelaslah bahwa mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g. Kedudukan orang berdosa.
Al-Asy’ari menolak ajaran
posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.
Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufr.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman dan
aliran teologi Islam Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis
besar atau kesimpulannya adalah sebagai berikut
:
a.
Perkembangan
dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas
ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan
Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas
ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang saat itu.
b.
Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah
dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan,
yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat
luas.
c.
Prinsip-prinsip
yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di
satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang
dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan
selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
d.
Selanjutnya,
pemikiran Asy’ari dilanjutkan dan disebarkan oleh para muridnya. Hanya saja,
pemikirannya tersebut tidak diambil seratus persen, tetapi ada yang dibenahi
dan dikoreksi.
e.
Adapun
pergolakan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah di antaranya terjadi dalam beberapa
permasalahan, seperti Al-Qur’an, sifat Allah,
status pelaku dosa besar dan masalah keyakinan yang lain-lainnya. Semoga
pergolakan tersebut dapat semakin mendewasakan umat Islam dalam berpikir dan
sekaligus mendorong mereka untuk selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan
keteladan Rosululloh SAW dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah hasil buah pemikiran kelompok kami, tentunya
masih banyak kesalahan dan kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu
saran, kritik dan masukan yang konstruktif kami harapkan selalu demi
berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan kami hanya dapat berharap, sedikit
coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi kita bersama, amin ya rabbal
‘alamin.
Waullahu a’lam
bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Azis , TEOLOGI FILSAFAT TASAWUF dalam ISLAM, Ushul Press, Jakarta, 2012
Al-Imam
Abul Hasan Al-Asy’ari, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh
Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu
as-Sunnah wal Jamaah”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 48.
Noer
Iskandar al-Barsany, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah
Waljamaah (Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3.
Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III;
Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 14.
Ahmad
Amin, Zuhr Islam, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 65.
M.Hanafi, Theologi Islam…, halm.111.
[2][21] H.A.R.
Gibb and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaudia of Islam, (London: Luzac
and Co, 1961), h. 66.
[3][22] Al-Imam
Abul Hasan Al-Asy’ari, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh
Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu
as-Sunnah wal Jamaah”, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 48.
[4][23] Noer
Iskandar al-Barsany, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah
Waljamaah (Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3.
[6][25] Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III;
Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 14.
[16][35] Harun Nasution,
Teologi Islam Aliran-Aliran…, halm.73.
Dalam kamus Jhon. M.Echols (Jakarta: Gramedia, 2006), arti Impotence adalah ketidak mampuan.
0 komentar:
Posting Komentar