Senin, 11 November 2013

Aliran Salafiyah

oleh :
Nur Hidayah 
Taufik 

BAB I
PENDAHULUAN

Aliran Mu’tazilah mencapai puncaknya pada masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dari Daulah ‘Abbasiyah, pada masa itu aliran ini mengkampanyekan pemikiran bahwa ‘Al-Qur’an adalah makhluk’. Semua rakyat dan ulama’ dipaksa untuk mengikuti pemikiran tersebut, namun ada banyak ulama’ yang menentang dengan tegas pendapat tersebut, di antaranya Imam Ahmad ibn Hanbal. Akibat penentangan tersebut, beliau kerap kali disiksa dan masuk penjara. Pemikiran-pemikiran Imam Ahmad Ibn Hanbal kemudian melahirkan sebuah aliran teologi baru yaitu aliran salafiyah.
Aliran salafiyah merupakan aliran yang muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal yang kemudian pemikirannya diformulasikan secara lebih lengkap oleh Ibn Taimiyah. Sebagaimana aliran Asy’ariyah, aliran Salafiyah memberikan reaksi yang keras terhadap pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, yang terlalu memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal. Kaum salafiyah berusaha memahami Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka tidak memberikan ruang gerak yang bebas terhadap akal dan mereka secara tegas menolak tentang penafsiran ayat-ayat mutasyabihat secara mendalam dan percaya sepenuhnya pada sifat-sifat Allah.
Dalam makalah ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas seputar:
1.      Definisi Salafiyah
2.      Manhaj dan Butir-butir Teologi Salafiyah
3.      Tokoh Salafiyah dan Pemikirannya




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Salafiyah
Secara bahasa Salaf artinya terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H. dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[1] Secara lebih tegas, Abdul Aziz Dahlan menyatakan bahwa generasi salaf adalah generasi yang terdiri dari generasi sahabat dan tabi’in.[2]
Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti Salaf. Menurut al-Syahrastani, Salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme). Sementara Mahmud al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.[3]
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa Salafiyah adalah orang-orang yang mengikuti manhaj sahabat, tabi’in dan tabi’i tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka. Pencakupan generasi Salaf sampai tabi’ tabi’in tak lepas dari ketersambungan manhaj mereka dengam manhaj para tabi’in.



B. Manhaj dan Butir-butir Teologi Salafiyah

Paham Salafiyah mulai dikenal dan muncul beberapa abad setelah Rasulullah SAW wafat, tepatnya pada paruh pertama abad ke 3 H. Paham Salafiyah muncul sebagai rekasi keras terhadap pentakwilan yang dilakukan kaum Mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat (anthropomorphis), dengan alasan para salaf tidak pernah melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat.[4]
Penganut paham Salafiyah disebut juga dengan kaum tradisionalis. Julukan ini terkait dengan masalah sumber rujukan dalam berteologi. Bila ada masalah teologi, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada Al-Qur’an. Bila tidak ada dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya pada hadits mutawatir. Bila juga tidak dijumpai jawaban dari hadits mutawatir, kaum Salafiyah mencari jawabannya pada hadits masyhur. Bila tidak dijumpai juga, kaum Salafiyah akan mencari jawabannya pada hadits ahad.[5]
Secara lebih spesifik, kaum Salafiyah mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1.      Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)
2.      Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
3.      Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk).
4.      Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
      Apabila melihat karakteristik di atas, maka tokoh-tokoh yang dapat dikatagorikan sebagai Salafiyah adalah: Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Abdullah bin Umar (w. 74 H), Umar bin Abdul  Al-Aziz (w. 101 H), Hasan al-Bashri (w. 105 H), az-Zuhri (w. 124 H), Ja’farAhs-Shadiq (w. 148 H), dan para imam mazhab yang empat, yakni: Abu Hanifah (w. 150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Syafi’i (w. 204 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 241). Para tokoh inilah yang dianggap sebagai Salafiyin awal, terkait karakteristik pandangan di atas.
      Namun, secara kronologis Salafiyah sebagai sebuah aliran pemikiran, bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Pada abad ke 4 Hijriyah, muncullah golongan yang gigih menamakan diri mereka sebagai Salafiyah atau Salafiyin. Mereka adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang beliau sebagai tokoh yang sangat teguh bertahan pada pendirian Salaf, kendati mengalami penyiksaan dari kaum Mu’tazilah. Dengan demikian, Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.[6]
Di antara pemikiran-pemikiran yang mendasar terkait teologi yang dimiliki Salafiyah adalah sebagai berikut:[7]
1.      Para pelaku dosa besar berada dalam kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Mukmin yang menjadi pelaku dosa besar tidak boleh disebut mukmin saja, tapi harus mukmin ‘ashi (bermaksiat) atau mukmin yang fasik. Nasibnya kelak di akhirat adalah bila Allah SWT memberikan pengampunan kepadanya, maka ia langsung masuk surga. Tetapi bila tidak diampuni, ia masuk neraka, tapi tidak kekal di dalamnya.
2.      Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT, dengan pengertian Allah SWT menciptakan kemampuannya tetapi Dia tidak mengendalikan manusia. Manusia tetap dipandang memiliki kebebasan kehendak untuk berbuat baik atau berbuat buruk.
3.      Allah SWT tidak mungkin membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dipikul manusia.
4.      Semua perbuatan Allah SWT pasti memiliki hikmah dan tujuan. Sebagian hikmah dan tujuan itu disingkapkan kepada manusia sehingga diketahui oleh manusia dan sebagian lagi tidak disingkapkan kepada manusia yang karenanya tidak dapat difahami oleh manusia.
5.      Allah SWT tidak mungkin melanggar janji dan ancaman-Nya.
6.      Manusia dengan mata kepala dapat menyaksikan Allah SWT di surga kelak.
7.      Ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh ditakwilkan. Ayat-ayat mutasyabihat cukup difahami sebagaimana adanya, dengan tidak membandingkan atau menyamakan dengan makhluk. Sebagai misal, ungkapan yadullahi (tangan Allah) cukup difahami sebagai tangan Allah. Tetapi tangan itu sendiri tidak mungkin sama dengan tangan manusia.
8.      Al-Qur’an adalah kalamullah, dan kalamullah itu adalah kesatuan lafadz dan makna. Al-Qur’an bukanlah makhluk-Nya.
9.      Orang-orang yang tidak didatangi oleh ajaran wahyu Allah, tidak dipandang sebagai mukallaf, dan karenanya mereka tidak akan diazab di hari kiamat. Demikian halnya dengan anak-anak orang kafir yang meninggal sebelum dewasa.
10.  Nabi Muhammad SAW dapat memberikan syafaat bagi orang-orang mukmin yang berdosa di akhirat kelak, dengan izin Allah SWT.
11.  Sebagian dari peristiwa buruk alam (seperti: banjir, tsunami, gunung meletus, dsb.) bersifat relatif dalam arti peristiwa tersebut bisa jadi menjadi musibah bagi sekelompok manusia, namun mendatangkan manfaat bagi sebagian yang lain. Keburukan yang bernilai relatif ini diciptakan Allah SWT untuk hikmah tertentu yakni sebagai ujian atau cobaan untuk meninggikan derajat manusia.
12.  Sifat, nama, atau sebutan bagi Allah SWT haruslah ditetapkan atau disematkan bagi diri-Nya, sebagaimana Dia sendiri telah menetapkannya. Sifat, nama, atau sebutan bagi Allah SWT tidak boleh difahami sama seperti sifat, nama atau sebutan bagi makhluk-Nya, dan tidak boleh juga meniadakannya sama sekali dari diri Allah SWT.

C.     Tokoh Salafiyah dan Pemikirannya

1.      Imam Ahmad Ibn Hambal

      Beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad SAW.[8]
       Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah Al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar ilmu hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu Al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.[9]
       Di antara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab.[10]
       Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibn Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition),[11] karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya, pada masa pemerintahan al-Makmun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq, ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah al-Mutawakkil naik tahta, Ibn Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.
       Tentang ayat-ayat mutasyabihat, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thâhâ/20 : 5, yang berbunyi:
الرحمن على العرش استوى
Yaitu yang Maha Pengasih yang Bersemayam di atas Arsy.

Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:

 إستوى على العرش كيف شآء وكما شآء بلا حد ولاصفة يبلغها واصف

Istiwa’ di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.[12]
           
      Dan dalam menanggapi hadits nuzul (Allah SWT turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Allah SWT di akhirat), dan hadits-hadits lainnya yang serupa, Ibn Hanbal berkata: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.[13]
       Dari pernyataan-pernyataan di atas tampak bahwa Ibn Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
       Berikutnya, salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya huduts (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qadim. Persoalan teologis ini erat kaitannya dengan faham Mu’tazilah. Sejarah menjelaskan bahwa faham yang diakui oleh pemerintah saat itu -yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq- adalah faham Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Mereka menilai, faham adanya qadim disamping Allah, berarti menduakan Allah, sedangkan menduakan Allah adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni-Nya.
       Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam sidang mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq bertanya         :  Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal :  Ia adalah kalam Allah.
Ishaq                        :  Apakah ia makhluk?
Ibn Hambal             :  Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq                       : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ibn Hambal             : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq                       : Apakah maksudnya?
Ibn Hambal            : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada  diri- Nya.[14]                             
          Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.[15]
        Berikutnya, bagi Imam Ahmad bin Hanbal iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemaksiatan.[16]

2.      Ibn Taimiyah
   
        Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim al Khadar bin Muhammad bin al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu, keturunannya dinamai Ibn Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[17]
        Ibn Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibn Taimiyah merupakan tokoh salaf yang kental karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.[18]
         Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas, sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Banyak tokoh dan ulama yang merasa risau oleh serangan-serangannya serta tidak senang terhadap kedudukannya di istana gubernur Damaskus, menjadikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya, bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, anthropomorphisme, sehingga pada awal 1306 M  Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
         Di antara pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah adalah sebagai berikut:
a.       Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b.      Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c.       Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d.      Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.[19]
        Sementara itu, pandangan Ibn Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :[20]
1.      Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a.       Sifat Salabiyah, yaitu: qidam, baqa’, mukhalafatu li hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyat.
b.      Sifat Ma’ani, yaitu: qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
c.       Sifat khabariyah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan al-hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di ‘Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
d.      Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
2.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti al-Awwal, al-Akhir, dan lain-lain.
3.      Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a.       Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki oleh lafadz tersebut (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b.      Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghoiri ta’thil)
c.       Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d.      Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
e.       Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[21]
      Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menurutnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
      Dalam masalah perbuatan manusia, Ibn Taimiyah mengakui tiga hal:
a.       Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b.      Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
c.       Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridhai perbuatan buruk.
      Dalam masalah sosiologi politik Ibn Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[22]



D.     Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Salafiyah adalah mereka yang mengikuti manhaj generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.
2.      Paham Salafiyah muncul sebagai rekasi keras terhadap pentakwilan yang dilakukan kaum Mu’tazilah terhadap ayat-ayat mutasyabihat (anthropomorphis).
3.      Secara kronologis Salafiyah sebagai sebuah aliran pemikiran, bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Pada abad ke 4 Hijriyah, muncullah golongan (pengikut Ibn Hanbal) yang gigih menamakan diri mereka sebagai Salafiyah atau Salafiyin. Dengan demikian, Hanbalilah yang meletakkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah. Lalu ajarannya dikembangkan oleh Imam Ibn Taimiyah.
4.      Di antara pandangan yang menonjol dari Salafiyah adalah ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh ditakwilkan. Ayat-ayat mutasyabihat cukup difahami sebagaimana adanya, dengan tidak membandingkan atau menyamakan dengan makhluk.













DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajudin,  I’tiqad  Ahlusunnah  Wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,
            1987.

Dahlan, Abdul Aziz,  Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, Jakarta: Ushul Press,
            2012.

Dasuki, Hafiz, Ensiklopedi Islam, Jilid. V, Cet. 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
            1993.
Fauzi, Ahmad, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press.


Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teology Islam), Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Sa’ad, Thablawy  Mahmud,  al-Tashawwuf  fi  Turasts Ibn Taimiyah, Mesir: alhay
            al-Hadits al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1984.

Yusuf, Abdullah,  Pandangan  Ulama  tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung:
            Sinar Baru, 1993.



[1] Thablawy Mahmud Saad, al-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, (Mesir: alhay al-Hadits al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1984), h. 11-38.

[2] Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012), h. 89.
[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), Cet ke-2, h. 109.

[4]  Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, ..., h. 90.
[5] Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, ..., h. 8-9. Lebih lanjut Abdul Aziz Dahlan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan kaum Salafiyah ini berbeda dengan kaum Mu’tazilah. Ketika persoalan-persoalan teologi hanya ditemukan jawabannya pada hadits masyhur atau hadits ahad saja, kaum Mu’tazilah akan menjawab persoalan tersebut dengan rasio (akal). Karenanya, kaum mu’tazilah disebut juga dengan kaum rasionalis.
[6] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 109. Juga: Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, ..., 90.
[7] Abdul Aziz Dahlan, Teologi Filsafat Tasawuf dalam Islam, ..., h. 15-17.
[8] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 111
[9] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 111
[10] Hafiz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid. V, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 82

[11] Dalam sejarah Islam, mihnah dijalankan sebagai upaya ‘pemaksaan’ mengikuti faham Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara di bawah sokongan pemerintahan al-Ma’mun. Mihnah diadakan untuk menguji keyakinan para ulama khususnya ulama hadits mengenai hakikat Al-Qur’an, apakah diciptakan (makhluk), atau bukan. Para ulama yang tidak sependapat dan tidak mau mengikuti faham ini, disiksa dan dipejara. Hal inilah yang akhirnya memicu ketidaksukaan dan menimbulkan pertentangan para ulama terhadap kaum Mu’tazilah. Pen.

[12] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 113
[13] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam,…, h. 113

[14] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teology Islam ), (Jakarta: Rajawali Pers. 2010),  h. 126-127.

[15] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ...,  h. 114

[16] Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), (Cirebon: STAIN Press), h. 99

[17] Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987), h. 261

[18] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ...,  h. 115
[19] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ..., h. 116
[20] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), h. 58-60



[21] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ..., h. 115
[22] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam ..., h. 117

0 komentar: