Aku-Rektor-dan kawan-kawan

Acara Itikaf Mahasiswa Universitas Djuanda Bogor Di Ciloto Puncak

Acara Wisuda

Langkah Awal Menuju Cita-cita

Foto Guru-guru Acara Wisuda

SMP AMALIAH CIAWI BOGOR

Cita-Cita

Mesti Harus Merangkak

Merindukan Rasulullah

Masjid Nabawi

Selasa, 11 Februari 2014

Tasawwuf dalam Filsafat Pendidikan Islam

Pada Posting Kali ini pembahasan kita adalah masalah tasawuf.

APA TUJUAN ORANG BERTASAWUF
Tujuan orang bertasawuf adalah untuk memperoleh hubungan khusus langsung dari tuhan, hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berada dihadirat tuhan, kemudian dengan kesadaran tersebut akan menuju kontek komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan tuhan.

FANA, BAQA, DAN ITTIHAD
Fana secara harfiah adalah lenyap, hancur, sirna, atau hilang. Maksudnya yaitu penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan makhluk lain di sekitarnya. Sejumlah sufi mengisyaratkan fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela. Fana tahap tertinggi yaitu saat seorang sufi tidak menyadari diri sendiri dan alam semesta. Hal tersebut diibaratkan kisah Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha. Pada saat para wanita yang diundang oleh Siti Zulaikha tidak menyadari tangan mereka tersayat oleh pisau yang dipegangnya karena melihat ketampanan wajah Nabi Yusuf as.
Baqa berarti tinggal, kekal, atau tetap ada. Kata baqa juga diartikan sebagai terbinanya sifat-sifat terpuji. Baqa muncul bersamaan dengan timbulnya istilah fana. Seperti kita ketahui bersama bahwa manusia tidak bisa terlepas dari salah satu kategori sifat-sifat tersebut ( terpuji dan tercela ). Apabila yang satu tidak ada pada seseorang maka pastilah dijumpai yang lainnya. Jika seseorang fana dari sifat-sifat tercela, maka ia baqa dengan sifat-sifat terpuji. Dan siapa yang baqa dengan sifat-sifat terpuji maka lenyaplah dari sifat-sifat tercela, sampai seorang sufi baqanya kesadaran kehadiran Tuhan. Baqa itu bersifat relatif karena baqa dan lawannya, fana, seperti dua muka dari satu koin uang. Di balik baqa terdapat fana. Baqa itu ibaratnya kisah Majnun yang jatuh cinta kepada Laila. Seorang sufi yang sedang baqa maka hanya Tuhan yang ada dalam sebutan dan ingatannya. Ia baqa bersama Tuhan.
Adapun ittihad diartikan bersatu atau menjadi satu. Dalam pemahaman tasawuf, ittihad adalah suatu bentuk pengalaman sufi yang sedang mabuk kepayang dengan Tuhan yaitu pengalaman bersatu atau merasa bersatu dengan Tuhan. Cinta dan mabuk kepayang mengantarkan seorang sufi kepada keterbukaan mata batin. Saat itu sang sufi merasa terpesona, apa saja selain Tuhan, hilang sirna (fana). Yang tetap ada dalam kesadarannya hanyalah Tuhan, sang sufi tetap ada (baqa) bersama Tuhan. Perihal baqa bersama Tuhan itulah yang dirasakan sang sufi sebagai ittihad, yakni bersatu dengan Tuhan.

Apa bedanya  Wahdat  Al-Wujud  dengan  Wahdat  Al Syuhud

1. Wahdat  Al-Wujud

Wahdat artinya kesatuan, sedangkan wujud artinya menjumpai. Jadi satu yang dijumpai maksudnya menurut  Ibn ‘Arabi tentang Wahdat  Al-Wujud adalah wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula, tidak ada perbedaan diantaranya dari segi hakikatnya, dan kalaupun di lihat dari sudut pandang panca indra. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qodim dengan yang baru atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara abid (menyembah) dan ma’bud (yang di sembah).

Kalau khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa telihat dua? Menurut Ibn ‘Arabi tidak memandangnya dari sisi satu, tetapi memandang keduanya bahwa khalik dari sisi satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang dari sisi yang lain mereka pasti mengetahui  hakikat keduanya yakni dzatnya satu yang tak terbilang dan terpisah.
Ibn ‘Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud yang mutlak yaitu wujud Tuhan, satu-satunya wujud menurut ibn arabi adalah wujud tuhan, tidak ada wujud selain wujudNya.
Contohnya: Kesatuan wujud Tuhan dengan wujud alam seperti kesatuan lautan yang tak berpantai dengan gumpalan-gumpalan es yang terbentuk dalam lautan tak berpantai itu. Tuhan disimbolkan dengan lautan tak berpantai, sedangkan alam disimbolkan dengan gumpalan-gumpalan es yang terbentuk dalam lautan itu.

2. Wahdat  Al-Syuhud

Wahdat artinya kesatuan, sedangkan syuhud artinya penyaksian. Jadi satu yang disaksikan maksudnya menurut  Ibn Faridh tentang Wahdat  Al-Syhud adalah keesaan Allah disaksikan oleh mata batin manusia yang mampu memfanakan dirinya di dalam Tuhan atau sesudah lenyapnya (fana) hijab atau dinding yang membatasi mata hati dengan Tuhan. Sebagai akibat dari penyaksian mata batin itu, keyakinan tentang keesaan Allah meningkat ke tarap yang tertinggi atau dengan kata lain lebih tinggi dari tarap keyakinan yang hanya berupa membenarkan berita al-Qur’an dan Hadits yang diperkuat dengan argumentasi rasional. Penyaksian keesaan Tuhan sekaligus berarti pengakuan satu-satunya wujud yang hakiki hanya Allah yang disaksikan oleh mata batin seseorang yang memperoleh kasyaf. Wujud semua alam empiris termasuk dirinya pada saat itu lenyap, baik dari mata batin maupun dari mata hati.
Contohnya seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang menyebabkan lenyapnya bintang-bintang dari mata kepala manusia.

demikianlah resume tanpa penjelasan dari saya, semoga bermanfaat. 


Kamis, 06 Februari 2014

FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

sambungan....

pada posting sebelumnya kita sudah mencantumkan resume dari pemikiran-pemikiran Teologi yang berkembang dalam dunia islam. pembahasan tentang pemikiran pendidikan Islam akan dilanjutkan dengan pembahasan filsafat.
berikut beberapa permasalahan tentang filsasat dalam pemikiran pendidikan Islam :

Pemikiran Al-kindi tentang Agama dan filsafat
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut: ilmu agama merupakan bagian dari filsafat; wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian; menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

Pendapat al-kindi tentang hidup manusia di akhirat
Kematian manusia di alam dunia berarti berpisahnya jiwa manusia dari badannnya. Badan yang tersusun dari materi menjadi musnah beracerai berai, sedangkan jiwa yang tidak tersusun, tetap hidup tanpa badan. Bila jiwa itu bersih, maka setelah berpisah dari badan, jiwa itu bias langsung naik memasuki alam akal yang terletak di langit terjauh, yang disinari dengan sinar tuhan, dan jiwa itu bias melihat tuhan, serta tersingkap baginya segala sesuatu, baik yang lahir maupun yang tersembunyi, yang nyata ataupun yang rahasia karena ia melihat dengan sinar Tuhan.

Sebaliknya jiwa yang berpisah dari badan tapi tidak suci, tidak dapat langsung memasuki alam akal (alam kebenaran, alam ketuhanan). Jiwa tersebut harus mengembara untuk suatu jangka waktu di falak bulan, setelah berhasil membersihkan diri disana, ia naik ke falak merkuri dan mengembara lagi disana untuk suatu waktu dan seterusnya jiwa itu akan naik ke fala-falak berikutnya sampai ke falak terjauh. Setelah berhasil membersihkan diri pada setiap falak pengembaraan dan benar-benar bersih maka jiwa itu baru dapat memamasuki alam ketuhanan dan berbahagia disana. Jadi dalam filsafat al-kindi setiap jiwa manusia langsung (tanpa proses/penyiksaan/penyucian) atau tidak langsung (berproses/penyiksaan/penyucian) kelak akan memasuki alam ketuhanan dan menikmati kebahagian syurga yang bersifat spiritual semata. Syurga dan neraka dalam pandangan alkindi tidak mengacu pada tempat, tapi pada kenikmatan dan kesengsaraan yang dirasakan oleh jiwa manusia.

Pemikiran ar-Razi tentang lima yang qodim (kekal)
Filsafat al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal, yakni: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama Ruang Absolut dan Zaman Absolut, dalam bahasa Arab :

البا رى تعا لى والنفسول الكلية والهيلولا للاولى والمكن المطلق والزمن المطلق

Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara al-dahr (duration) dan al-waqt (time).
Filsafat Ar Razi dikenal dengan ajarannya 5 kekal, yaitu:

1. Allah Ta’ala ( الباري تعالى )
Menurut Ar Razi, Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan bukan dari ketiadaan tetapi dari sesuatu yang sudah ada. Karenanya, alam semestinya tidak kekal sekalipun materi pertama (Allah) kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Di sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari ketiadaan, tentu Allah akan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.
2. Jiwa universal ( النفس الكلية  )
Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak tetapi tanpa bentuk. Dalam hal ini, jiwa adalah roh, zat yang halus seperti udara, sehingga sulit untuk diketahui karena ia tanpa bentuk dan rupa.
3. Materi pertama ( الهيولى الأولى )
Adalah substansi yang kekal terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom.materi pertama ini sangat erat kaitannya dengan jiwa universal (roh). Roh dikuasai naluri untuk bersatu dengan materi pertama sehingga timbullah suatu bentuk yang dapat menerima fisik. Karena itulah Allah menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia agar bisa ditempati roh.
4. Tempat/ruang absolut ( المكان المطلق )
Adanya materi kekal maka membutuhkan ruang yang sesuai untuknya. Ruang dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pertama, ruang partikular/relatif, ia terbatas dan terikat dengan wujud yang menempatinya. Kedua, ruang universal/mutlak, ia tidak terikat dengan segala sesuatu yang ada dan tidak terbatas.
5. Masa absolut ( الزمان المطلق )
Waktu adalah substansi yang mengalir dan bersifat kekal. Ar Razi membaginya menjadi 2 bagian, yaitu pertama, waktu mutlak, ia tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal. Ia terlepas sama sekali dari alam semesta dan gerakan falaq. Kedua, waktu relatif, ia tidak kekal dan terbatas karena terikat dengan gerakan falaq, terbit dan tengelamnya matahari. Ringkasnya, karena ia disifati dengan angka dan dapat diukur.

Paham emanasi menurut Al-Farabi

Alfarabi mengembangkan paham emanasi Plotinus sebagai berikut :
Dari tuhan karena ia berpikir tentang dirinya, memancar akal I. Dari akal I, karena ia berpikir tentang Tuhan, memancar akal II, dan karena ia berpikir tentang dirinya sendiri, memancar langit pertama. Dari akal II karena ia berpikir tentang Tuhan, memancar akal III, dank arena ia berpikir tentang dirinya sendiri, memancar langit bintang-bintang tetap. 
Demikianlah seterusnya, dengan berpikir tentang Tuhan dan tentang diri sendiri, dari akal III memancar akal IV dan langit saturnus, dari akal IV memancar akal V dan langit Yupiter, dari akal V memancar akal VI dan langit Mars, dari akal VI memancar akal VII dan langit Matahari, dari akal VII memancar akal VIII dan langit Venus, dari akal VIII memancar akal IX dan langit Merkuri, dari akal IX memancar akal X dan langit Bulan, dan dari akal X memancar bumi dengan segala isinya. Demikianlah paham emanasi al-Farabi, yang esensinya (Tuhan memancar daya-daya-Nya yang sebagian tetap wujud rohani dan sebagian menjelma dalam bentuk materi). Semua akal yang X itu disebut juga oleh Al-Farabi dengan sebutan Al-Asyya Al-Mufariqoh.

Paham emanasi menurut Ibnu Sina
Teori emanasi yang dianut dan dikembangkan oleh Ibnu Sina hamper tidak berbeda dari teori emanasi yang dikemukakan oleh al-Farabi. Teori  emanasi Ibnu sina adalah sebagi berikut : dari Tuhan muncul akal I sampai dengan akal X, jiwa langit I sampai jiwa langit IX, dan bumi. Emanasi itu adalah akibat aktivitas berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir tentang diri-Nya maka memancar dari diri-Nya akal I. akal I memiliki tiga aktivitas berpikir yaitu :
a.     Berpikir tentang Tuhan
b.     Berpikir dirinya sebagai wajib al-wujud Lighairihi (sebagai wajib wujud karena bukan dirinya, yakni karena Tuhan)
c.     Berpikir tentangnya sebagi mumkin wujud karena dirinya.
Sebagai akibat dari akvitas pertama, maka dari akal I muncul akal II, sebagai akibat dari aktivitas  kedua, maka dari akal I muncul jiwa langit I, dan sebagai akibat dari aktivitas ketiga, maka dari akal I itu muncul Tubuh (Jisim) langit I, jadi tiga aktivitas berpikir melahirkan tiga akibat. Selanjutnya akal II juga memiliki tiga aktivitas berpikir, demikian seterusnya sampai munculnya akal X.

Paham Al-Farabi dan Ibnu Sina tentang Kenabian :
a. Al-Farabi
Sebagai seorang filosof muslim al-farabi melawan pandangan yang meniadakan kenabian. Menurut al-farabi kenabian adalah suatu yang diperoleh oleh manusia-manusia utama, yaitu para Nabi (Rasul), bukan melalui upaya mereka, bukan melalui upaya pembersihan hati, seperti yang dilakukan para sufi, dan bukan melalui upaya studi keras menguasai ilmu pengetahuan sebanyak mungkin, seperti yang diupayakan oleh para filosof. Para Nabi sejak kelahiran mereka telah memiliki quwwah qudsiyah (kekuatan suci), yang membuat mereka siap dikala dewasa untuk menerima wahyu dari akal aktif, dan sekaligus bias melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa (mukjizat).
b. Ibnu Sina
Menurut ibnu Sina : sebagian manusia dianugerahi oleh Tuhan akal potensial yang demikian kuat, sehingga mereka tidak perlu kepada latihan atau studi yang banyak untuk berada pada taraf siap berkomunikasi dengan akal aktif. Potensi besar yang mereka miliki itu disebut al-hads (daya luar biasa). Itulah potensi tertinggi yang diberikan tuhan kepada manusia, dan mereka yang mendapat anugerah tersebut hanyalah para Nabi. Dalam tulisannya : Risalah fi Istbat al-Nubuwah, Ibnu Sina berupaya menunjukan adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, dan pada akhirnya menegaskan bahwa para Nabi, yang akal teoritis mereka mengaktual secara sempurna secara langsung.
               
Apa Alasan Al-Ghazali mengkafirkan faham qodimnya alam?
 Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qodim (tidak pernah tidak ada), maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi faham qadimnya alam menurut Al-Ghazali, membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan, dan ini berarti bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang cukup jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qodim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedang alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, maka alam ada disamping adanya Tuhan. sebaliknya, bagi para filosof Muslim yang berfaham bahwa alam itu qadim, sedikitpun tidak dipahami mereka dengan pengertian mereka bahwa alam ada dengan sendirinya. Alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qidam. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka, menunjukan berubahnya Tuhan. menurut mereka “Tuhan” mustahil berubah, oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari “pada awalnya tidak/belum mencipta, kemudian mencipta.

Jawaban Ibnu Rusd tentang qodimnya alam :
Menurut Ibnu Rusd dari ayat al-quran (11:7, 41;11. 21;30) dapat disimpulkan bahwa alam dijadikan bukan tiada, tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia juga mengingatkan bahwa paham itu qodim tidaklah mesti membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak dijadikan oleh Tuhan.

Tentang Tuhan tidak mengetahui Juz’iyat :

Ibnu Rusd
Ibnu Rusd menyatakan bahwa para filosof muslim sama pandangan mereka dengan para ulama lainnya bahwa tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i. pandangan demikian tidak pernah mereka persoalkan, yang mereka persoalkan dan pikirkan adalah bagaimana caranya tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat farticular. Menurutnya para filosof muslim berpandangan bahwa pengetahuan tuhan tentang hal-hal yang bersifat particular tidak seperti pengetahuan manusia, karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek (akibat, ma’lul dari memperhatikan hal-hal particular itu). Sedangkan pengetahuan tuhan tidak begitu, tapi menjadi sebab (illah).
Al-Ghozali
Ghozali memberikan vonis bahwa pendapat para filosof muslim tentang tuhan tidak mengetahui juz’iyat (particular) adalah batil (tidak benar). Disimpulkannya dari perkataan Ibnu Sina bahwa tuhan mengetahui hal-hal yang particular secara kulli (Innahu Ta’ala ya’lamu aljuz’iyyat ala nahwin kulliyin). Perkataan demikian kata al-ghozali, maksudnya adalah tuhan mengetahui (misalnya) gerhana matahari dengan segala macamnya (missal;gerhana total,separuh,sekian persen,dan seterusnya, tapi tuhan tidak mengetahui macam yang mana gerhana matahari terakhir, dua terakhir, tiga terakhir, gerhana pada tahun sekian, pada tahun sekian, dan seterusnya). Paham bahwa tuhan tidak mengetahui juz’iyat bertentangan dengan ajaran al-quran (bahwa tuhan maha mengetahui segala sesuatu), dan  harus dikafirkan.

Betulkah filusuf muslim berpaham bahwa surga dan neraka itu bersifat spiritual saja ? jelaskan !
Pemahaman para filusuf muslim secara hakiki, menurut akal mereka mustahil. Oleh karena itu, gambaran tersebut haruslah dipahami secara majasi. Penggambaran Tuhan tentang alam kubur/akhirat secara jasmani/materi, mereka pahami sebagai upaya materialisasi terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan itu adalah upaya yang layak. Penggambaran seperti itu adalah bijaksana. Sebenarnya, bukan hanya para filsuf muslim yang sulit memahami kehidupan alam kubur/akhirat secara jasmani-rohani. Melainkan juga mereka yang bukan filsuf. Bagaimana bisa dipahami nikmat atau azab kubur secara jasmani-rohani bagi mereka yang mati dengan jasad yang habis dimakan oleh binatang atau sudah menjadi abu karena terbakar? Bagaimana bisa dipahami jasad yang diletakkan diliang lahat itu dapat merasakan nikmat atau azab, seperti azab malaikat berupa pukulan besi bagian kupingnya atau merasakan jepitan kalajengking atau gigitan ular besar yang datang kepada jasad yang terbaring dilahat? Bagaimana bisa dipahami bahwa kuburan orang baik-baik dilapangkan sampai 70 hasta dan dibentangkan hamparan sampai ke surga, atau kuburan orang yang jahat disempitkan sedemikian hebat sehingga remuk tulang-tulang jasad yang berbaring dilahat itu? Bagaimana bisa dipahami bahwa manusia dibangkitkan di alam masyhar dengan badan telanjang [padahal matinya mengenakan pakaian]? Bagaimana bisa dipahami bahwa mereka yang berada di surga bisa berdialog dengan mereka yang berada di neraka yang menyala-nyala? Karena tidak mudah dipahami secara jasmani-rohani, muncul pemahaman dari kalangan sufi bahwa alam kubur/akhirat itu adalah alam rohani semata. Jasad-jasad yang ada pada alam alam kubur/akhirat itu juga bersifat rohani, bukan bersifat jasmani/materi.

bersambung... (Tasawuf)

Selasa, 04 Februari 2014

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

Pada semeseter ganjil yang lalu kami (mahasiswa pascasarjana PTIQ jakarta ankatan 2013/2014) telah sama-sama mengkaji mata kuliah pemikiran pendidikan Islam yang di Ampu oleh Prof. Dr.  Abdul Aziz  Dahlan. Semoga Allah memberkahi ilmunya dan apa yang kami dapatkan darinya memberi manfaat untuk kami. Untuk itu saya berusaha memposting hasil resume makalah rekan-rekan dan mungkin nanti akan ada beberapa argumen yang saya lontarkan, sekedar mempertanyakan dan mungkin ada beberapa pernyataan. (berharap ada yang memperbaiki bila salah).

Kajian Pemikiran Pendidikan Islam menurutnya akan terbagi atas tiga kelompok :

Pertama, Teologi
Kedua, Filsafat dan
Ketiga, Tasawuf

Teologi akan membahas pemikiran-pemikiran aliran yang berkembang di dunia Islam. Seperti : pemikiran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidyah, Salafiyah, Syiah, Khawarij, dan Murjiah. Sedang untuk filsafat akan dibahas pemikiran filsafat muslim seperti : al Farabi, al Kindi, ar  Razi, ibnu Sina, al Gazali, Ibnu Rusd. Tasawuf sendiri akan membahas tentang tujuan orang bertasawuf serta beberapa hal terkait dengannya seperti, Fana, Baqa, Ittihad, wahdatul Wujud dan Wahdatul Syuhud.