Dikotomi Ilmu
Ilmu adalah hasil dari sebuah pola fikir, dalam mencapai kebenaran kita membutuhkan ilmu. ilmu membahas semua hal, tidak ada pemisah antara ilmu agama dan ilmu umum. Islam begitu menghargai ilmu dan ahlinya atau alim. Sejarah membuktikan bahwa islam tidak membedakan antara ilmu umum dan ilmu agama. kita dapat melihat para ilmuan yang faham agama, ahli kedokteran yang sekaligus ahli quran dan fiqih.
Dikotomi ilmu atau lebih luasnya pendidikan mengubur sejarah keemasan peradaban Islam untuk itu, mari kita bangun kembali peradaban yang dahulu pernah berjaya dalam hal ilmu dan pendidikan.
Berikut ini sebuah makalah yang di persembahkan oleh mahasiswa Pasca Sarjana PTIQ jakarta. semoga bermanfaat
INTEGRASI ANTARA
“ILMU AGAMA DENGAN ILMU UMUM”
“MAKALAH MATA PELAJARAN”
-PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM-
DI SUSUN OLEH :
NUHRI (13042021367)
YANTO HERYANTO (13042021390)
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU QUR’AN
MENEJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASAR JUM’AT JAKARTA SELATAN
JAKARTA 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemikiran
tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan
oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara
totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju
dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan
menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu,
atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Disamping itu
terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat
dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus
ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara Islam. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya
merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT, kehilangan
dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak
punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu
dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan
sesaat yang justru menjadi penyebab
terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.[2]
Dipandang dari
sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam
setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]
B. Permasalahan
Permasalahan
yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau menyatukan ilmu-ilmu
keIslaman dengan ilmu-ilmu umum.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebelum sampai
kepada pembahasan penyatuan /integrasi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu
umum, maka akan dibahas terlebih dahulu tentang : Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, rekonstruksi sains Islam, suatu
integrasi ilmu pengetahuan Islam dan umum.
A.
Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan / (Sains)
Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah SWT. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi
pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat
al-Baqarah ayat 185. Al-Qur’an juga menuntun manusia untuk menjalani segala
aspek kehidupan, termasuk didalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Al-Quran
menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan
orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Al-Qur’an yang
menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun,
adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti
yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam”.[4]
Disamping itu, Al-Qur’an
menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi
pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid
mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada
hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam
pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[5]
Imam al-Ghazali
sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu
pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang
belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim.[6]
Dr. M. Quraish
Shihab mengatakan, membahas hubungan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan
dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di
dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian Al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan
itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah didalam Al-Qur’an terdapat ilmu
matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama
adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan
atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan hasil
penemuan ilmiah yang telah mapan?[7]
Kuntowijoyo
mengatakan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat
besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang
dinamakan paradigma Al-Qur’an / paradigma Islam. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma al-Qur’an
jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi
pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis
normatif Al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional.
Struktur transendental Al-Qur’an adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang
dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi
pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti
sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah
sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk
kemaslahatan umat Islam.[8]
B.
Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam
perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan
ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu
pengetahuan.
Kondisi seperti
ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks
Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan. Hal ini
bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh
departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah
naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.
Pandangan dikotomis
terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan
integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata
pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama
ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para
ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan
berbagai masalah dengan multidimensional approach/ (pendekatan dari berbagai
sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan
mendapatkan gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim
melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.[9]
Muhammad Abid
al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah
umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences / (al-ulum al-kauniyyah)
menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keIslaman
yang pondasi dasarnya adalah nash. Meskipun peradaban Islam klasik pernah
mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu kealaman,
antara lain seperti Al-Biruni (w. 1041) seorang ensiklopedis muslim, Ibn Sina
seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (w.1039) seorang fisikawan,
dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang ada sekarang kurang
mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi, lebih-lebih
perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang ini, yang
sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keIslaman yang ada
sekarang.[10] Selain ilmuan-ilmuan muslim yang
dikemukakan di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal diantaranya, Abu
Abbas al-Fadhl Hatim an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim
al-Khayyami (w.1123) yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku
aljabar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi.
Pada periode
klasik Islam ini (Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa
faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:
1. Agama Islam sebagai motivasi.
2. Kesatuan bahasa yang memudahkan
komunikasi ilmiah.
3. Kebijakan pemerintah untuk pengembangan
ilmu pengetahuan.
4. Didirikannya akademi, Laboratorium, dan
perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.
5. Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset
dan eksperimen.
6. Pandangan Internasional yang membuka
isolasi dengan dunia luar.
7. Penguasaan terhadap bekas wilayah
pengembangan filsafat klasik Yunani.
Pada periode
klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah
dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis dan ilmu
pengetahuan yang bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam
satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.[11]
Sesudah periode
klasik ini, yaitu sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami
kemunduran, produktivitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat
justru terjadi sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam
dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu
gerbang renaissance, dan reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi struktur
ilmu pengetahuan dalam Islam.
Ilmu pengetahuan
yang dikaji dari Al-Qur’an dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam,
sedangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat
dikeluarkan dari struktur ilmu pengetahuan Islam.
Dengan demikian
muncullah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan
terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir
bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh
karena itu Ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma
baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh
sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu pengetahuan Islam menggunakan
pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam
pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu
pengetahuan.
Dengan
rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara
ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling
berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation).[12]
C. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islam
dengan Umum
Setelah umat Islam
mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah
dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu
pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam
mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang
ilmu tersebut.
Tidak hanya
sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun
sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo
(L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan
mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang
bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa
matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi
dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya
(Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.[13]
Pemberian
hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja
menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin
agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga
semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun
menuju ilmu pengetahuan sekuler.[14] Sekularisasi ilmu pengetahuan secara
ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap
tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan
disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam
ini tidak ada yang sakral).
Sekularisasi
ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang
obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
Sekularisasi
ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral,
nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke
dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu memihak, dan dengan
demikian menghilangkan obyektivitasnya.[15]
Kondisi inilah
yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan
kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah Islamisasi
ilmu pengetahuan. Upaya “Islamisasi ilmu”
bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia
moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah, apakah akan
membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau Islam ? Ataukah berupaya
keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Al-Quran
dan Hadis, kedalam realitas kesejarahannya secara empiric ? . Kedua-duanya
sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar
kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah
memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah:
Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin
Sardar. Kemunculan ide: Islamisasi ilmuan
tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung
keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat
jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan
yang mengusung ide Islamisasi ilmuan
masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh.
Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di
kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh yang
mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke
Amerika Serikat, Ismail Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan
agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang
lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam.
Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan
teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Qur’an, menjadikan Al-Qur’an
sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam
dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang
terkandung dalam Al-qur’an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil’alamin),
tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari
objektivikasi ajaran Islam.
Masalah yang
muncul kemudian adalah apakah integrasi / Islamisasi ilmu pengetahuan keIslaman,
dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip-prinsip
tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir
Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan Islamisasi
ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
1. Dalam pandangan Islam, alam semesta
sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value)
dan maksud yang luhur. Bila alam dikelola dengan
maksud yang inheren dalam dirinya akan membawa
manfaat bagi manusia. Maksud alam tersebut adalah
suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal
pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai
produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak
pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian
ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga
melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri
mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan
konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4.
Dalam
pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada
realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi
rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual,
rasional, empiris etik dan empiris transenden.[16]
Azyumardi Azra,
mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama
: Restorasionis, yang mengatakan bahwa
ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan
yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia.
Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari
nabi saja. Begitu juga Abu Al-Ala Maududi, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan,
mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi,
geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada
Allah SWT. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua
: Rekonstruksionis interprestasi agama
untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan
bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif,
dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan
kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afgani menyatakan
bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga
: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi
ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah
al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu
pengetahuan.[17]
Integrasi yang
dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam
tanpa harus menghilangkan keunikan-keunikan antara dua keilmuan tersebut.
Terdapat
keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan
sains:
(1) Integrasi yang hanya cenderung
mencocok-cocokkan ayat-ayat Al-qur’an secara dangkal dengan temuan-temuan
ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang
menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut
terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif
yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan
dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh
sains.[18]
(2) Berkaitan dengan pembagian
keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan
bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah.
Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan
hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu
nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan,
hermeneutikal).[19]
Amin Abdullah
memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan
studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling
mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif
dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: Usaha
memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia.
Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial,
humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. maka dibutuhkan
kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling
keterhubungan antara disiplin keilmuan.[20]
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan
antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi
dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang
natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian,
dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan
keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[21]
Contoh konkrit
dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya
dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam
perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama (al-Musyarakah).
Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti
agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis
moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah
yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
seterusnya.[22]
Perbedaan
pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal
hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan
pendekatan Islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan
antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi
lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum
juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan,
sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode
berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam
ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa
saling mengalahkan.
Dari uraian di
atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keIslaman
ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Dari
perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan
menyeluruh tentang ayat-ayat Allah SWT. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang
terhimpun di dalam Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat
alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian pemikiran
manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif
kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki
oleh Allah SWT. Dari perspektif
Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui
usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan,
pendengaran dan hati yang diciptakan Allah SWT. terhadap hukum-hukum alam dan
sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari
segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat
manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk
menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi
pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Al-Qur’an
diturunkan kepada manusia disamping sebagai pembeda antara yang hak dan yang
batil, juga menuntun manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.
Sejak
kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh
suburlah pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan
sekuler.
3.
Terjadinya
dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam
berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau
hal ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan
manusia.
4.
Respon
cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum
ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
5.
Penyatuan
antara ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum lebih condong kepada
integrasi-interkoneksitas dan mengacu kepada perspektif ontologis,
Epistemologis dan aksiologis.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. /Islamic Studies
Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif/, Cet.I, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar, 2006
_______, /Islamic Stadies dalam
Paradigma Integrasi-Interkoneksi/, Cet I; Yogyakarta: Penerbit SUKA Press,
2007.
Arief, Armai. /Reformasi Pendiidkan
Islam/, Cet. I, Jakarta: CRSD Press, 2005.
Azra, Azyumardi. /Reintegrasi
Ilmu-Ilmu,/ /Integrasi Ilmu dan Agama,//Interprestasi dan Aksi/, Bandung:
Mizan, 2005.
Bagir, Zainal Abidin (ed),
/Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi/, Bandung: Mizan, 2005.
Departemen Agama RI, /Alquran dan
Terjemahnya/, (Madinah Al-Munawwarah:
Mujamma al-Malik Fahd li Thibaat
al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.
Fayid, Syeikh Mahmud Abdul Wahab,
/Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah/, diterjemahkan Drs. Judi Al-Falasany, Pendidikan
Dalam Al-qur’an, Semarang: Penerbit CV. Wicaksana,
1989.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu/,
Cet. II, Jakarta; Penerbit: Teraju, 2005.
Said, Nurman. dkk, /Sinergi Agama
dan Sains/, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005.
Shihab, M. Quraish. /Membumikan
Alquran/, Cet. I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992.
Suriasumantri, Jujun S. /Ilmu Dalam
Perspektif Moral/, /Sosial dan Politik,/Jakarta: Gramedia, 1986.
[1] Armai
Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Cet; Jakarta: CRSD Press, 2005), h.124.
[2]
Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (ed)
(Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005), h. xxxvi.
[3]
Ibid., /h.xxxvii
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah Almunawwarah: Mujamma
al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H), h. 1079.
[5]
Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan
Drs. Judi Al.Falasany, Pendidikan Dalam Al-qur’an Semarang:
Penerbit CV.Wicaksana, 1989), h. 23-24.
[6]
Dr.M.Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Cet I, Bandung: Penerbit Mizan,
1992) h .41
[7]
Ibid.,
[8]
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Cet. II, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005),
h.25-26.
[9] M.
Shaleh Putuhena, Ke Arah Rekonstruksi Sains Islam, Nurman Said, Wahyuddin
Hakim, Muhammad Sabri, op.cit, h.107
[10] Prof.
Dr.H.M. Amin Abdullah, dkk, op.cit; h. 27.
[11]
M.Shaleh Putuhena, op.cit., h. 107
[12]
Ibid., h. 119.
[13] Jujun
S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1986), h. 3.
[14]
Prof.DR. Moh. Natsir Mahmud, Landasan Paradigmalik Islamisasi Ilmu Pengetahuan,
Nurman Said, Wahyuddin Halim Muhammad Sabri, (ed), Op.cit; h. 129.
[15] Lihat
Ibid., h. 129-133.
[16]
Ibid., h. 134.
[17]
Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam Zainal Abidin Bagir (ed)
Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005) h. 206-
211.
[18]
Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi/,
(bandung: Mizan, 2005) h, 50-51.
[19]
Kuntowijoyo, op.cit; h. 51.
[20]
Prof.DR.M.Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006),
h. VII-VIII.
[21]
Kuntowijoyo, op.cit., h. 62.
[22]
Prof.Dr. M.Amin Abdullah, op.cit, h. 105.
0 komentar:
Posting Komentar