Senin, 08 April 2013

Lanjutan Seri Pendidikan Anak Bag 1



Hak mendapatkan ayah  sholeh dan ibu yang sholehah

Materi ini adalah materi paling sulit menurut saya karena saya sendiri sedang berada pada posisi ini yakni sedang berusaha menunaikan hak anak saya, yakni mendapatkan ibu yang sholehah. mudah-mudahan bukan karena saya belum melewati fase kemudian para sahabat tidak jadi melihat teori-teori yang ada, teori yang di ajarkan baginda Rasulullah SAW.

Menjadi suatu hal yang wajar bagi pemuda dan pemudi yang telah mencapai umur 20 tahun atau 20 tahun keatas mempersiapkan dirinya untuk menjalani hidup berumah tangga. Bahkan mungkin sudah disiapkan jauh-jauh hari ketika  di bangku sekolah. Namun tidak pula dipungkiri ada sebagian remaja lebih memilih menunda untuk berumah tangga karena merasa lebih suka sendiri dengan kebebasannya. Dinamika ini selalu hadir dalam kehidupan remaja baik muslim dan non muslim.

Sejatinya hukum menikah dalam Islam terbagi atas beberapa hukum yakni Wajib, Sunnah, Makruh dan Haram. Dan menjadi suatu hal terpenting adalah niat dari sebuah pernikahan. Pembahasan ini tidak saya jelaskan karena ketidak sempurnaan pemahaman saya untuk masalah hukum ini saya merekomendasikan para sahabat untuk bertanya kepada yang lebih faham, he J..

Memilih atau dipilih..!


Dalam kitabnya Nashihatul Mulk Al Mawardi menganggap bahwa memilih istri yang baik merupakan hak anak atas bapaknya, hal tersebut beliau kutip dari perkataan Sayyidina Umar bin Khatab  : Hak yang pertama untuk anak dipilihkan baginya seorang ibu sebelum ia dilahirkan ; yang cantik, mulia, taat beragama, terhormat, cerdas, berakhlak terpuji, teruji kecerdasannya dan kepatuhannya terhadap suami.

Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘alamin mengajarkan kepada umatnya dalam mempersiapkan keluarga termasuk dalam menentukan kriteria pasangan hidup.
Sabda Rasulullah Saw :

عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال تنكه المرأة لاربع لمالهاو لنسبها و لجمالها ولدينها فظفر بدات الدين تربت يداك (رواه البخرى)
Dari Abu Hurairah ra, dari nabi Saw. Bersabda “ perempuan itu dinikahi empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah perempuan yang beragama, niscaya kamu akan beruntung.”.[1]

Kriteria dalam hadits ini dijelaskan bahwa keberuntungan bagi seseorang laki-laki memilih pasangan hidupnya mendahulukan agamanya dari kecantikannya, keturunannya dan hartanya.

Kepemilikan takwa yang tanpak pada diri anak kebanyakan karena mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya  atau pamannya. Ada petunjuk kenabian yang menunjukkan hal ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adiy dan Ibnu Asakir dari Aisyah radhiyallahu anha., bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

تخيروا لنطفكم, فإن النساء يلدن أشباة إخوانهن وأهواتهن
Artinya : Pilihlah untuk sperma kalian, sebab kaum wanita akan melahirkan seperti saudara laki-laki atau saudara perempuan mereka.

Ad Daruquthni meriwayatkan dari Aisyah :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إختاروا لنطفكم المواضع الصالجة
Artinya : Rasulullah Shallallahu’alaihi Was Sallam bersabda : “Pilihlah untuk sperma kalian tempat-tempat yang baik.”

Diantara hak suami adalah mencari tahu sampai sejauhmana wawasan istrinya. Sebab wawasan ini akan membantu sang istri untuk mengatur rumah tangga dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya. Dan bagi wanita dipersilahkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan apa saja dengan tata cara yang sesuai dengan kesempurnaannya sebagai seorang wanita.

Sebuah Kata mutiara menggambarkan tentang suami-istri : “Sesungguhnya suami-istri persis seperti satu bait syair, tidaklah baik sebuah syair apabila baris pertama indah sementara baris keduanya buruk.[2]

Demikian pula pada calon istri Islam menetapkan kriteria-kriteria kualitas calon suami yang pantas dipilih untuk menjadi pendamping hidupnya. Islam juga menggariskan bahwa calon suami yang harus dipilih adalah yang memiliki kualitas moral dan agama yang tinggi.[3] Rasulullah Saw. Bersabda :
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ادا خطب اليكم من ترضون دينه و خلقه فزوجه الا تقعلوا تكن فتنة في الا رض و فساد عريض (رواه الترمزي)
“Dari Abu Hurairah Ra. Berkata. Rasulullah Saw berkata : apabila ada orang yang baik agama dan budi pekertinya meminang kepada ( anak-anak perempuan dan kerabat-kerabatmu ) maka kawinkanlah ia kepadanya. Jika hal itu tidak kamu kerjakan akan menjadi fitnah dan bencana yang amat besar di atas bumi. 

Berdasarkan dari penjelasan hadits diatas memilih merupakan suatu hal yang mutlak dan harus dilakukan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Seorang perempuan pun boleh menolak pernikahan yang dipaksakan oleh kedua orang tuanya, karena Islam memberikan hak yang sama bagi perempuan dalam memilih pasangan hidupnya. Di sinilah awal mula calon orang tua memiliki kewajiban yang harus dilakukan untuk memilihkan ibu atau ayah yang baik bagi anak-anaknya.

Di masyarakat kita menjadi suatu hal yang tidak wajar bila seorang wanita yang menawarkan diri kepada seorang laki-laki. Wanita hanya menanti sedangkan lelaki mencari.

Sejarah mencatat bahwa ada seorang sahabiyah menawarkan diri kepada Rasulullah untuk menjadikannya seorang istri dan ini mejadi dalil diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan diri kepada seorang laki-laki shaleh adalah sebagai berikut :

Dari Thabit al Bunani : ia berkata : “Ketika aku bersama Anas sedang ia besama putrinya, anas berkata : telah datang seorang wanita kepada Rasulullah menawarkan diri kepadanya, ia berkata : Wahai Rasulullah aku datang untuk menghibahkan diriku untukmu.” Maka putri Anas berkata : alangkah tidak malunya orang itu, oh alangkah hinanya. Anas berkata: “ Ia lebih baik darimu. Dia mengiginkan Nabi, maka ia menawarkan dirinya sendiri kepada baginda Rasulullah (HR. Bukhori).








[1] Muhammad bin Ismail al- Bukhari, sahih al- Bukhari, (Bairut, Darul Qalam, 1987), hadis nomor, 4700, juz III,h. 395.
[2] Lihat buku “Propetic Parenting Cara Nabi Shallallahu ‘alaihis Salam Mendidik Anak, Yogyakarta : Pro U Media 2010.
[3] Al- Turmudzi, Sunan Al- Turmudzi. ( Bairut, Dar Ihya al  Turats al arabi), nomor hadis 1955, juz II, h. 75.

0 komentar: